CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

20 Maret 2015

初めて通訳者になった (Part 1)

Setelah  bertahun-tahun tidak menulis di blog ini, entah kenapa sekarang ingin kembali menulis di sini. Blog ini memang lebih mudah digunakan dibandingkan blog baru.

Kapan ya aku terakhir menulis di sini. Sepertinya ketika masih SMP, sekitar 4 tahun yang lalu. Dulu ketika masih duduk di bangku SMP, aku cukup aktif menulis di sini dengan berbagai tulisan yang random dan alay. Tapi itu 4 tahun yang lalu. Sekarang aku telah menjadi mahasiswa semester 2, di salah satu universitas di kota pelajar alias Yogyakarta. 

Banyak sekali perubahan yang terjadi selama 4 tahun terakhir ini. Banyak juga kejadian-kejadian tak terduga yang bila dipikir ulang masih tidak menyangka bagaimana sekarang bisa seperti ini. Salah satunya kegiatan dua minggu kemarin bersama orang-orang Jepang. Kegiatan ini sebenarnya tidak ada hubungannya dengan perkuliahanku, Memang, aku mempelajari Sastra Jepang. Namun Project dua minggu ini bukan kegiatan jurusanku, melainkan fakultas lain, yaitu Fakultas Ekonomi & Bisnis. Tapi pada dasarnya yang memiliki project ini adalah mahasiswa dari Hiroshima University of Economics. Dan mereka bekerja sama dengan FEB UGM untuk membantu project mereka. Lalu kenapa aku bisa terlibat? Alasannya adalah karena bahasa dan komunikasi. Mahasiswa dari Hiroshima sama sekali tidak bisa Bahasa Indonesia (sebenarnya ada yang bisa), bahkan Bahasa Inggris pun sedikit sekali yang mampu. Sedangkan dari FEB berlawanan dengan tadi. Mereka bisa Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, tapi tidak memiliki kemampuan Bahasa Jepang. Karena itulah mereka meminta tolong ke fakultas seberang, yakni Fakultas Ilmu Budaya, lebih khususnya Sastra Jepang untuk membantu mengkomunikasikan antara orang Jepang dan orang Indonesia. Bahasa kerennya adalah sebagai interpreter, atau dalam Bahasa Jepang yaitu tsuuyakusha

Dan beginilah pengalamanku menjadi interpreter abal-abal untuk pertama kalinya.

Awal mulanya aku diberitahu oleh kakak senior alias senpai tentang HUE (Hiroshima University of Economics). Senpai sedang merekrut mahasiswa Sastra Jepang yang bersedia membantu mahasiswa fakultas seberang yang akan kedatangan tamu tahunan dari Hiroshima. Mereka sudah memberitahuku berbagai info tentang project itu. Dari pengenalan mahasiswa Hiroshima, tugas kami, dan segala macam lainnya. Menurut senpai, kegiatan ini secara kasar merupakan kegiatan ilegal karena bukan atas nama jurusan. Sehingga selama dua minggu ketika project berlangsung kemungkinan kami harus merelakan absen kuliah. Tapi semakin banyak orang yang ikut, semakin sedikit kemungkinannya untuk absen kuliah karena bisa bergantian alias dengan sistem shift-shiftan. Aku pun menghela napas dengan lega karena yang ikut memang lumayan banyak. Tapi yang mengganjal di pikiranku adalah, apakah aku mampu menerjemahkan perkataan orang? Padahal aku sendiri termasuk mahasiswa baru yang belum genap setahun belajar Sastra Jepang. Jujur, kemampuanku masih minim sekali. Namun senpai meyakinkanku bahwa yang terpenting adalah niat dan keberanian. Yang terpenting bukanlah kemahiran dan keberhasilan kita menerjemahkan, namun pengalaman dari kegiatan itu sendiri yang tak semua orang memiliki kesempatan untuk mengikutinya. Sehingga aku pun bertekad untuk mengikuti project itu selama dua minggu terakhir. 

H-3 kedatangan mahasiswa HUE ke Indonesia, kami dari FIB dan FEB rapat. Dalam rapat tersebut kami dibagi menjadi tiga kelompok, yakni event team, marketing team, dan product team. Aku memilih bergabung ke event team karena menurutku kelompok ini kegiatannya paling mudah.

Hari yang dinanti pun tiba. Tepatnya pada hari jumat pukul 08.00 kami mengikuti opening ceremony kegiatan dua minggu ke depan. Kami berkenalan dengan mahasiswa dari Hiroshima di sebuah aula di FEB. Setelah itu kami berpindah tempat untuk berkumpul sesuai dengan kelompoknya masing-masing membahas rencana kegiatan dua minggu. Namun ada hal yang tak terduga terjadi. Ketika aku akan bergabung ke event team, senpai berkata bahwa di event team sudah terlalu banyak. Dia meminta salah satu di antara kami untuk pindah ke product team. Aku pun merelakan diri untuk itu. Dan di sinilah aku. Hari pertama terjebak di rapat product team membahas hal-hal yang tak pernah aku kenal sebelumnya.
 

Janganku merespon apa yang dibicarakan oleh mahasiswa Hiroshima, untuk mencerna apa yang dibicarakan pun aku harus berpikir keras. Pembahasan yang dibicarakan benar-benar tentang ekonomi dalam Bahasa Jepang. Aku hanya diam mencoba menyimak.

Usai rapat kelompok, ternyata ada kegiatan pertama. Yaitu mengunjungi rumah kerajinan Lawe. Lawe merupakan nama desa di Bantul yang kurang lebih dari UGM menggunakan kendaraan menempuh lama sekitar satu jam. Senpai berkata bahwa dari penerjemah hanya membutuhkan tiga orang. Dan mereka masih kekurangan satu orang. Aku awalnya ingin ikut tapi takut tidak berguna karena dua orang lainnya adalah senpai-senpai yang sudah mahir Bahasa Jepang. Tapi salah satu senpai menasehatiku dan memberiku kekuatan yang entah kenapa membuat keberanianku muncul. Akhirnya aku pun ikut.


Inilah hasil fotoku bersama mahasiswa HUE, senpai, dan beberapa mahasiswa FEB ketika di Lawe. Aku merasa tak berguna sekali di sana. Aku tidak bisa membantu menerjemahkan. Pokoknya hari pertama aku merasa tak berguna sama sekali. 

Pulang dari Lawe, malamnya kami mengadakan party untuk mengakrabkan diri dengan mahasiswa HUE. Sebelumnya dibuka dengan presentasi pengenalan project dari HUE. Usai presentasi, kami makan dan bermaain bersama. 

Tak kusangka, kelompokku mendapatkan hadiah karena memenangkan lomba tebak gerakan.

Party pun ditutup dengan sesi foto-foto.






Hari ke-3 (Minggu)
Setelah hari pertama aku merasa tak berguna di product team, akhirnya hari ke-3 aku pindah ke marketing team sesuai dengan keinginanku. Pada hari Minggu, aku bertugas membantu anak marketing untuk berjualan di Wisma MM. Di sana sedikit demi sedikit membaur dengan mahasiswa dari HUE dan merasa mulai berguna.